Pelayanan prima tidak sekadar dikenal
di tingkat kabupaten. Desa Sunggingan, Kecamatan Miri, Sragen menjadi desa
kreatif selama dipimpin, Gunawan, sejak 2012 lalu. Gunawan berkomitmen membuka
pelayanan publik 24 jam. Komitmen itu dibangun Gunawan dan perangkat desa
setempat untuk melayani masyarakat.
Inovasi pelayanan 24 jam itu
diberlakukan untuk menjawab keluhan masyarakat terkait tutupnya kebanyakan
balai desa pada siang hari. “Saya tidak tahu persis. Sepertinya balai desa yang
membuka layanan 24 jam di Sragen hanya Sunggingan,” kata Gunawan saat ditemuiSolopos.com di
kantornya, Jumat (30/10/2015).
Layanan masyarakat selama 24
jam di Balai Desa Sunggingan itu mulai diberlakukan pada 2012 lalu. Piket malam
itu berlaku mulai pukul 19.30 WIB hingga 03.00 WIB. Meski begitu, terkadang
para perangkat desa itu baru pulang sekitar pukul 05.00 WIB.
“Ada enam perangkat desa yang
bertugas. Dalam bertugas, biasanya mereka ditemani warga sekitar. Semua
didasari keikhlasan dan semangat melayani. Dalam bekerja, mereka tidak mendapat
tambahan insentif,” ujar Gunawan.
Layanan masyarakat selama 24
jam itu amat dibutuhkan warga sekitar yang rata-rata bekerja sebagai buruh
bangunan di luar daerah. Pada umumnya, mereka baru bisa pulang ke rumah pada
sore hari sehingga tidak memiliki waktu ke balai desa pada siang hari.
“Jika warga butuh pertolongan
pada malam hari, kami persilakan datang ke balai desa. Biasanya warga butuh
kendaraan menuju rumah sakit. Kami memang tidak punya kendaraan roda empat,
tapi paling tidak, kami bisa membantu mencarikan,” terang Gunawan.
Kepala Dusun Karangnongko,
Sardi, mengaku mendapat jatah piket pada Minggu malam. Dia sudah terbiasa
melayani permasalahan administrasi kependudukan dari warga sekitar ketika piket
malam. Petugas piket, kata dia, menjadi andalan warga jika butuh pertolongan di
malam hari.
“Belum lama ini ada warga kami
yang mengalami kecelakaan di kawasan Kalijambe pada tengah malam. Begitu
mendapat kabar itu, kami bergerak cepat untuk memberi pertolongan. Kami membawa
korban ke rumah sakit untuk mendapat pengobatan,” kata Sardi.
Sardi mengakui tidak selamanya
warga butuh pertolongan pada malam hari. Meski begitu, piket malam, bagi dia
merupakan sebuah panggilan. “Kalau tidak piket justru merasa tidak tenang di
rumah. Malah ada beban di pikiran. Jangan-jangan nanti warga membutuhkan
pertolongan kami,” paparnya.
Untuk mengusir jenuh, para
perangkat desa yang piket malam itu biasa menonton petunjukan wayang kulit,
tayub melalui DVD player yang disediakan di balai desa.
“Saya paling suka nonton
wayang. Kesenian ini menjadi penghibur kami kala merasa jenuh,” terangnya.
Sriyanti, 30, warga sekitar
mendukung dibukanya layanan 24 jam di Balai Desa Sunggingan. Menurutnya,
permasalahan yang dihadapi warga tidak mengenal waktu sehingga layanan 24 jam
itu amat dibutuhkan.
“Misal kalau tiba-tiba ada
ibu-ibu yang mau melahirkan, kan tidak bisa ditunda sampai besok pagi. Malam
itu juga harus ada yang bersedia mengantar ke rumah sakit atau bidan. Biasanya,
warga meminta tolong para perangkat desa yang piket malam,” ujarnya.
Sumber: solopos.com
0 komentar
Posting Komentar