Pages

Selasa, 08 September 2015

Dana Desa Rp1,4 Miliar Pacu Kreativitas


Desa mendapat perhatian serius dari pemerintah pusat lewat program dana desa yang mencapai Rp1,4 miliar per desa mulai 2015. Alokasi anggaran itu mestinya mampu memacu desa menjadi kreatif dan inovatif.
Dana yang besar itu harus dikelola perangkat desa dengan seksama demi kemajuan dan kemandirian desa yang bersangkutan. Lewat dana itu pula desa memiliki kekuatan untuk menggerakkan roda ekonomi lokal. Bagaimana mengelola dana desa itu, ke sektor apa dana desa itu dialirkan, bagaimana mengontrol aliran dana, serta bagaimana mengukur efektivitasnya? Semua pertanyaan itu menjadi catatan yang dicermati agar dana Rp 1,4 miliar itu benar-benar bermanfaat bagi kemajuan desa.
Tiap desa tentulah memiliki kelebihan dan kekurangan. Maka, mulailah dengan menginventarisir kelebihan dan kekurangan tersebut. Dari situ akan ketahuan, apa sebenarnya potensi desa yang bersangkutan. Potensi apa yang sudah mulai dikembangkan dan potensi apa yang belum dijamah. Peta potensi desa ini akan membantu perangkat desa untuk merencanakan penggunaan dana desa tersebut.
Kita ambil contoh Desa Panggungharjo, Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Salah satu potensi desa ini adalah sebagian besar warganya memiliki keahlian membuat permainan tradisional, mulai dari othok-othok, bedhil-bedhilan, egrang, dan mainan tradisional lainnya. Ketika trend masyarakat bergeser dari mainan tradisional ke mainan pabrikan, pembeli menyusut. Pengrajin mainan pun berkurang. Sebagian warga kehilangan pekerjaan yang sudah dilakoni bertahun-tahun.
Wahyudi Anggoro Hadi, sang kepala desa, tak hilang akal. Pria yang masih menempuh pendidikan Strata II di Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa (STPMD-APMD) Yogyakarta ini terpilih melalui pemilihan kepada desa (Pilkades) tahun 2012. Dengan kreatif, ia bersama perangkat desa, merumuskan strategi. Potensi Panggungharjo sebagaidesa sentra mainan, ia nilai masih berpotensi untuk dibangkitkan. Selanjutnya, Komunitas Pojok Budaya menjalin kerjasama dengan Kelompok Bermain Among Siwi menyelenggarakan Festival Dolanan Anak selama tiga hari, 29 November-01 Desember 2013. Festival ini sekaligus untuk mengukuhkan Desa Panggungharjo sebagai Desa Wisata Dolanan Anak.
Itu hanya salah satu contoh, bagaimana Desa Panggungharjo mengelola potensi desanya secara kreatif. Masih ada sejumlah potensi lain di desa ini, yang berhasil mereka olah dengan positif. Atas kesungguhan perangkat desa bersama warga mengelola kemandirian desa mereka, Desa Panggungharjo berhasil menjadi Desa Terbaik Tingkat Nasional Tahun 2014. Desa ini mendapatkan penghargaan Adikarya Bhakti Praja dan dana simultan untuk pembangunan desa.

Memotivasi Warga Desa
Untuk memandirikan desa, perangkat desa haruslah menggalang partisipasi warga. Kalaupun tidak semua, setidaknya sebagian besar warga desa terlibat memberikan kontribusi, sesuai dengan kondisi masing-masing warga. Ini memang bukan hal mudah, tapi bukan tidak mungkin dilakukan. Selain faktor kepemimpinan perangkat desa, keluwesan perangkat desa dalam berinteraksi dengan warga juga menjadi salah satu kuncinya.
Dalam konteks ini, kita ambil contoh Desa Cipakem, Kecamatan Maleber, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Secara geografis, desa ini terpencil, sekitar 62 kilometer ke arah timur dari Kota Kuningan. Sudah sejak lama desa ini menjadi salah satu desa tertinggal, yang semata-mata hanya mengandalkan bantuan pemerintah. Desa ini masuk kategori rawan pangan, 335 kepala keluarga atau 1.800 orang dari 6.502 jiwa penduduk desa, merupakan keluarga miskin.
Kebangkitan itu bermula dari seorang pemuda desa, Diding Wahyudin, SPd., kelahiran 3 Oktober 1976. Ia lulusan Universitas Kuningan dan terpilih sebagai kepala desa pada 2008. Salah satu kebijakannya, tanah bengkok desa seluas 500 bata, 7.000 meter per segi, disewakelolakan kepada lima warga. Tiap pengelola diwajibkan menyetor satu kuintal padi ke lumbung desa, dalam satu kali musim panen. “Di lumbung padi desa kami, ada 5 ton gabah kering giling dan diproyeksikan untuk membantu warga miskin,” kata Diding Wahyudin.
Selain itu, hampir 40 persen penduduk Desa Cipakem merantau ke berbagai kota besar, antara lain, ke Jakarta, Bandung, Semarang, bahkan ke Sumatra. Pada Idul Fitri 2008, ketika para perantau mudik, Diding mengadakan silaturahmi. Diajaknya para perantau untuk membeli domba atau sapi, yang kemudian dipelihara warga yang ada di desa, dengan sistem bagi hasil.
Tiap tahun desa ini mampu memasok hewan kurban 2.000 ekor domba atau kambing dan 700 ekor sapi untuk dipasarkan ke Jakarta. Itu hanya dua contoh, bagaimana Desa Cipakem mengelola potensi desanya secara kreatif. Masih ada sejumlah potensi lain di desa ini, yang berhasil mereka olah dengan positif. Atas prestasi ini, Diding Wahyudin menjadi satu-satunya kepala desa di Jawa Barat yang mendapatkan penghargaan Adhikarya Pangan yang diserahkan langsung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, di Istana Negara, Jakarta, Selasa (6/12/2012).

Desa Panggungharjo dan Desa Cipakem.
Wahyudi Anggoro Hadi dan Diding Wahyudin setidaknya bisa menjadi inspirasi perangkat desa lain di Indonesia. Yang perlu digarisbawahi, mereka melakukan gerakan kreatif di desa masing-masing, secara swadaya. Mereka menggali potensi yang ada di desa yang bersangkutan. Dengan segala keterbatasan, dengan berbagai kendala yang ada, toh mereka mampu menggalang partisipasi warga desa untuk berbuat bersama memandirikan desa.
Mungkin ada yang lebih baik dari mereka berdua. Mungkin ada desa lain yang lebih mandiri dari kedua desa yang saya jadikan contoh dalam tulisan singkat ini. Dengan kata lain, perangkat desa memiliki keleluasaan yang luas untuk mencari serta mendapatkan inspirasi demi memandirikan desa. Bagaimana pun juga, tiap desa memiliki karakteristik yang berbeda dengan desa lain. Hingga, ada bagian dari desa lain yang cocok untuk diadopsi, ada bagian yang perlu dimodifikasi sebelum diimplementasikan.
Dana desa senilai Rp 1,4 miliar untuk tiap desa itu, sesungguhnya adalah uang rakyat yang dihimpun di pusat, kemudian didistribusikan ke tiap desa. Maka dibutuhkan kesungguhan para perangkat desa untuk mengelolanya agar tak sia-sia. Kemandirian desa menjadi target dari program ini, yang berujung pada kesejahteraan warga desa. Bila desa-desa mandiri dan kuat, maka secara keseluruhan akan menguatkan bangunan bangsa bernama Indonesia ini.
Sumber: Oleh: isson khairul (http://www.kompasiana.com/)


0 komentar

Posting Komentar