Ilustrasi Desa: Seorang petani membajak sawah |
Pengertian desa dan perdesaan kadang
masih salah kaprah, seperti halnya desa seni dan desa kreatif. Istilah
perdesaan (rural) merujuk pada suatu daerah desa dan sekitarnya. Arti perdesaan
secara bahasa merupakan kumpulan dari desa-desa. Sementara istilah desa hanya
merujuk pada suatu wilayah permukiman tertentu.
Biro Sensus Amerika Serikat menganggap
suatu daerah pemukiman disebut perdesaan bila penduduknya kurang dari
2.500 orang (Ford, 1978). Di Jepang, Meksiko, Filipina, di negara-negara Eropa,
di banyak negara Afrika, di dunia Arab, maupun di Amerika Tengah dan Selatan,
pengertian konsep dan indikator statistik tentang desa itu juga berbeda-beda.
Biro Pusat Statistik (BPS) yang menyelenggarakan sensus penduduk setiap sepuluh
tahun sekali bahkan tidak secara jelas memberikan definisi tentang perdesaan
itu. Artinya, tidak ada batasan yang jelas pemukiman yang bagaimana yang disebut
desa.
Tipologi
Desa
Di dalam Undang-Undang (UU) No.
22/1948 dijelaskan desa adalah bentuk daerah otonom yang terendah sesudah kota.
Pada tahun 1969, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) ketika itu juga sudah pernah
merumuskan pembagian bentuk desa-desa di Indonesia melalui Surat Keputusan
No.42/1969. Konsep ini kemudian berubah lagi bersamaan dengan lahirnya
Undang-Undang No. 5/1975. Undang-undang ini menciptakan tipologi desa di
Indonesia yang cukup lama diberlakukan hingga berkahirnya masa rezim
pemerintahan Orde Baru. Pola desa yang baru ini didasarkan pada perubahan atau
pemekaran berbagai desa sebagai permukiman.
Tipologi desa menurut Undang-Undang
No.5/1975 tersebut dimulai dengan bentuk (pola) yang paling sederhana sampai
bentuk permukiman yang paling kompleks namun masih tetap dikategorikan sebagai
permukiman desa. Bentuk yang paling sederhana disebut sebagai permukiman
sementara, misalnya hanya tempat persinggahan dalam satu perjalanan menurut
kebiasaan orang-orang yang sering berpindah-pindah.
1. Pradesa (Pra-Desa) merupakan tipologi desa paling sederhana disebut
juga sebagai permukiman sementara, misalnya hanya dijadikan sebagai tempat
persinggahan dalam satu perjalanan menurut kebiasaan orang-orang yang sering
berpindah-pindah (nomaden). Tempat tersebut, pada saatnya ditinggalkan lagi.
Pola permukiman seperti ini mempunyai ciri yang khas. Hampir tidak ada orang
atau keluarga yang tinggal menetap (permanen) di sana. Semua penghuni akan
berpindah lagi pada saat panen selesai, atau lahan sebagai sumber penghidupan
utama tidak lagi memberikan hasil yang memadai. Sifat permukiman ini tidak
memungkinkan tumbuh dan berkembangnya berbagai tata kehidupan dan organisasi
atau lembaga-lembaga sosial penunjang kehidupan bermasyarakat, termasuk
pendidikan, ekonomi, hukum, adat, dan hubungan sosial di samping tata kehidupan
kemasyarakatan yang mantap.
2. Desa Swadaya merupakan tipe atau bentuk desa yang berada pada
tingkat yang lebih berkembang dari tipe pra-desa. Desa ini bersifat sedenter,
artinya sudah ada kelompok (keluarga) tertentu yang bermukim secara menetap di
sana. Permukiman ini umumnya masih bersifat tradisional dalam arti bahwa sumber
kehidupan utama warganya masih berkaitan erat dengan usaha tani, termasuk
meramu hasil hutan dan berternak yang diiringi dengan pemeliharaan ikan di tambak-tambak
kecil tradisional. Jenis usaha tani cenderung bersifat untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari. Teknologi pertanian yang dipakai masih rendah, tenaga hewan dan
manusia merupakan sumber utama energi teknologi usaha taninya. Hubungan antar
personal dan atau kelompok (masyarakat) sering didasarkan dan diikat atas adat
istiadat yang ketat. Pengendalian atau pengawasan sosial (social control) dilaksanakan atas dasar kekeluargaan dan kebanyakan
desa seperti ini berlokasi jauh dari pusat-pusat kegiatan ekonomi. Tingkat
pendidikan sebagai salah satu indikator tipologi desa belum berkembang, jarang
ada penduduk yang telah menyelesaikan pendidikan sekalipun tingkat sekolah
dasar saja.
3. Desa Swakarya merupakan tipe desa ketiga yang tingkatannya dianggap
lebih berkembang lagi dibandingkan desa swadaya. Adat yang merupakan tatanan
hidup bermasyarakat sudah mulai mendapatkan perubahan-perubahan sesuai dengan
perubahan yang terjadi dalam aspek kehidupan sosial budaya lainnya. Adopsi
teknologi tertentu sering merupakan salah satu sumber perubahan itu. Adat tidak
lagi terlalu ketat mempengaruhi pola kehidupan anggota masyarakat.
4. Desa Swasembada merupakan tipe desa keempat yakni pola desa yang
terbaik dan lebih berkembang dibandingkan tipe-tipe desa terdahulu. Prasarana
desa sudah baik, beraspal dan terpelihara pula dengan baik. Warganya telah
memiliki pendidikan setingkat dengan sekolah menengah lanjuatan atas. Mata
pencaharian sudah amat bervariasi dan tidak lagi berpegang teguh pada usaha
tani yang diusahakan sendiri. Masyarakat tidak lagi berpegang teguh dengan
adatnya tetapi ketaatan kepada syariat agama terus berkembang sejalan dengan
perbaikan pendidikan.
Sumber: Hanout: Tipologi Desa di Indonesia
0 komentar
Posting Komentar